Obama, 2008

Senin, 10 November 2008

Weep no more, my lady,

Oh weep no more today


Kau kembali ke pojok yang agak diterangi matahari di kerimbunan hutan itu. Kau kembali dengan mesin waktu yang tak sempurna, tapi masih kau dengar kor itu, My Old Kentucky Home, lagu murung yang bertahun-tahun terdengar sampai jauh lepas dari Sungai Mississippi, sejak Stephen Foster menulisnya. Itu tahun 1853. Budak belian hitam yang mencoba jeda dari terik dan jerih ladang tembakau. Sebuah selingan sederhana dari rutin panjang yang tak pernah dinamai “Penghisapan”. Sebuah sudut hutan yang jadi majelis tersembunyi. Sebuah ruang buat orang-orang yang dirantai dan dinista untuk berkumpul dan bertanya: apa sebenarnya semua ini?


Kau tak tahu kapan kau datang. Tapi dengan mesin waktu yang tak sempurna kau lihat seorang perempuan tua berbicara di depan majelis itu, di depan jemaat yang takut menyebut nama Tuhan. Ia mengingatkan kamu kepada Baby Suggs dalam Beloved Toni Morrison. Kau dengar ia berbicara tentang sesuatu yang menakjubkan tapi diabaikan, sesuatu yang biasa tapi tak terduga-duga: daging, jangat, tulang, sendi yang sanggup menanggung pukulan dan dera perbudakan, kelenjar yang menitikkan air mata, jantung yang sesak sebelum tangis, tubuh yang menyembuhkan lukanya sendiri, badan yang dari kepedihan bisa menyanyi, menari, menyanyi.


Saudara-saudaraku, tubuh kita bisa mengejutkan kita. Kadang-kadang dengan kegagahan. Kadang-kadang dengan keindahan. Semuanya terbatas, tapi dengan itu kita menggapai yang tak terhingga. Semuanya fana, tapi tiap kali memberi arti yang kekal. Maka jangan menangis lagi.


Kau lihat orang-orang terpekur. Kau mungkin tak tahu kenapa: mereka ingin percaya. Tapi mereka juga mendengar, konon di atas tubuh bertahta Takdir. Yang tetap. Yang tegar. Yang lurus dan terang-benderang. Yang tangan-tangannya menebarkan daya tersendiri, merasuki ke otak, setitik demi setitik.


Otak itulah yang kemudian memproduksi alasan. Telah lahir penjelasan yang gamblang, bahwa ada nasib yang memasang pigmen dalam kulit. Pigmen kita membuat hakikat kita. Ada orang hitam, ada kulit “negro”, ada juga yang “putih”. Warna-warna itulah yang mengarahkan sejarah. Identitas adalah nujum. Ada esensi sebelum eksistensi.


Tapi benarkah Takdir merancang semuanya? Di majelis hutan Mississipi itu, suara perempuan tua itu merendah: “Saudara-saudaraku, kegelapan menyertai kita.”


“Kegelapan di balik pori-pori, di ceruk sel darah merah dan getah bening. Kegelapan dalam suara serak, dalam lagu Old Black Joe yang memberat menjelang ajal. Kegelapan Maut, kegelapan kata-kata Tuhan yang tak selamanya kita mengerti, kegelapan yang mengelak dari Takdir yang makin lama makin putih.



“Kegelapan yang membiarkan kita tak punya nama, yang menampik nama bila nama adalah daftar milik yang jelas dari tuan-tuan kita. Kegelapan hutan ini yang teduh. Kegelapan yang melindungi kita dari Kebengisan.”



Blood on the leaves

And blood at the root

Black bodies swinging

In the southern breeze

Strange fruits hanging

From the poplar trees


Kebengisan itu tak pernah kau lihat. Mesin-waktumu yang tak sempurna hanya menemukan potret tubuh George Hughes yang digantung di dahan pohon. Tak hanya digantung. Ia dibakar. Ini Sherman, Texas, 1930.


Kau bisa baca di perpustakaan kota itu: “negro” buruh tani ini ditangkap dengan tuduhan membunuh majikannya dan memperkosa istri si tuan. Di kampung kecil yang jarang dihuni itu, bisik-bisik beredar: Hughes adalah “hewan yang tahu betul apa yang dimauinya”.


Para petani kulit-putih yang tinggal di dusun itu telah lama bringas, dan kini punya alasan buat lebih bringas. Mereka yang selamanya takut, curiga, dan benci kepada makhluk dengan pigmen berbeda itu kini punya dalih. Mereka serbu gedung pengadilan tempat Hughes ditahan. Mereka bakar. Hughes mereka seret ke luar dan mereka lemparkan ke atas truk. Polisi tak berbuat apa-apa – malah membantu mengatur lalulintas. Di sebuah lapangan dekat tempat tinggal orang hitam, Hughes diikat dan dikerek ke atas sebuah pohon. Api besar dinyalakan.


Dalam sebuah potret kau lihat: Hughes yang tinggal arang, terpentang, bergayut, pada pokok yang rendah.


Orosco mengabadikan adegan itu dalam sebuah litograf dari tahun 1934, Negros Colgados. Lihat, tak cuma satu “negro”. Tubuh-tubuh yang dibunuh itu begelantungan seperti puluhan buah yang aneh. Billie Holiday mengungkapkannya dalam Strange Fruits: suaranya setengah serak, dengan pilu yang seakan-akan telah jadi napas: Darah pada daun/ darah pada akar/ Jasad hitam yang terayun-ayun/di angin selatan/ buah ganjil yang tergantung/ di pohon poplar.


Ada sesuatu yang lain pada lagu itu, yang mula-mula tampak pada litograf Orosco: pohon dan dahan itu – tak dihiasi daun-daun -- seakan-akan menegaskan kekuatan yang lurus, lugas, tegak. Juga ia tempat pameran yang meyakinkan. Tak sengaja Orosco mengingatkan kita bahwa sebuah negeri, sebuah tata, adalah bangunan yang kuat karena ia memamerkan sesuatu yang lurus dan sekaligus mengancam. Dengan kata lain: kebengisan.


Kebengisan itu sering ditutupi dengan kata-kata: “utuh”, “harmonis”, “mufakat”, seakan-akan sesuatu yang mulia telah diraih. Seakan-akan tak ada pergulatan politik di baliknya. Seakan-akan yang ada hanya arsitektur Tuhan. Tapi nyanyian Billie Holiday mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang disembunyikan: ia berbisik tentang daerah pedalaman Selatan Amerika yang punya sejarah yang gagah, the gallant South, tapi ia segera menyebut wajah kesakitan orang-orang hitam yang tercekik. Ia menyebut “harum segar manis kembang magnolia”, tapi di baris berikutnya “bau jangat terbakar yang terhidu tiba-tiba”..


Tapi itu berarti ini tak ada tangan Takdir yang merancang. Tak ada hakikat sebelum apa yang diperbuat. Tak ada esensi sebelum eksistensi. Pembagian, apalagi pemisahan rasial, sepenuhnya hasil sebuah proses politik. Si “hitam” bukan jadi “hitam” karena ia diciptakan “hitam”, melainkan karena ia distempel dan disensus dan dikelompokkan ke dalam kategori “hitam”. Sejarah “hitam” dan “putih” adalah riwayat pergelutan, terkadang dengan pertempuran, terkadang dengan teriak mengajak maju, serempak, berbaris, 1000 pekik dari pita suara yang panas.


Yes, we can

Yes, we can


Kau dengar suara itu di kerumunan manusia di Grant Park, Chicago, 4 November 2008 malam. Ya, kita dapat. Ya, kita sanggup. Kita – kata orang-orang itu -- sanggup membuat seorang Amerika dengan nama yang aneh dipilih jadi presiden dengan dukungan yang meyakinkan. Kita sanggup mengubah warisan sejarah yang telah memicu Perang Saudara di abad ke-19. Kita sanggup mengguncang pohon tempat kebengisan dipajang seakan-akan sebuah struktur yang cantik.


Tapi ini bukan hanya cerita kemenangan seorang yang bisa melintasi taksonomi “hitam-putih”. Ini terutama cerita kemenangan dari pengertian lain tentang “politik”. Sebab yang datang bersama Obama bukanlah politik sebagai kiat untuk mendapatkan yang-mungkin. Di tahun 2008 ini, di Amerika Serikat kita justru menyaksikan “politik” sebagai hasrat, setengah nekad, untuk menggayuh yang-tak-mungkin.


Yang-tak-mungkin memang akan selamanya tak-mungkin. Tapi yang-mustahil itu jadi berarti karena ia memanggil terus menerus, dan ia membuat kita merasakan sesuatu yang tak terhingga – yang agaknya menyebabkan jutaan orang bersedia antri berjam-jam untuk memilih dan mengubah sejarah: mereka menyebutnya Keadilan, atau Kemerdekaan, atau nama lain yang menggugah hati. Seperti cinta yang terbata-bata tapi tulus. Seperti sajak yang hanya satu bait tapi menggetarkan.


Seperti tubuh-tubuh yang kau lihat menyanyi di hutan itu.


Weep no more, my lady,

Oh, weep no more today.


Goenawan Mohamad

Freeport



Di ketinggian 4200 m di tanah Papua, Freeport McMoran (FM), perusahaan induk PT. Freeport Indonesia mengangkangi tambang emas terbesar di dunia dengan cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan Papua. Berdasarkan perhitungan kasar, cadangan ini diperkirakan masih akan bisa dikeruk hingga 34 tahun mendatang.

Di dalam laporan resmi tahunannya, Freeport McMoran menuliskan bahwa dirinya membiayai dukungan uang sejumlah 6.9 juta dollar pada tahun 2004, lalu 5.9 juta dollar tahun 2003 dan 5.6 juta dollar tahun 2002 kepada pihak keamanan resmi pemerintah Indonesia (TNI). Pernyataan Freeport McMoran dalam membiayai TNI bukan hanya dilaporkan pada tahun 2005. Hampir setiap tahun, Freeport McMoran selalu melaporkan bahwa dirinya membiayai TNI untuk melindungi keamanan.

Sidang Pencurian Sarang Walet Tidak Adil?

Surabaya, 12 Juni 2008.
Sidang lanjutan pencurian sarang walet atas terdakwa Idola Tri Candra yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (12/6) segera memasuki tahap akhir. Dalam persidangan tersebut salah seorang tim penasihat hukum terdakwa yang diwakili Winarni SH membacakan duplik dan memohon kepada majelis hakim agar memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya. Sidang yang berakhir pukul 14.35 wib kemarin, akan digelar kembali Senin, (16/6) untuk pembacaan putusan oleh majelis hakim.

Idola Tri Candra (24), gadis yang sudah empat tahun bekerja di perusahaan sarang burung walet milik ARIEF SOEHARSAH, bersama tiga orang tersangka lain didakwa mencuri sarang walet seberat 4 kilogram dengan nilai Rp 48.000.000,- dan dituntut hukuman selama 1,5 tahun. Namun dalam pemeriksaan, terdakwa tidak terbukti mendapat keuntungan apapun dari perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya tersebut.

Sururi SH dari Biro Bantuan Hukum LPM yang terus mengikuti kasus ini mengisahkan, delapan hari sebelumnya, Wiriani SH, salah seorang tim penasihat hukum terdakwa membacakan pledoi (risalah pembelaan) di PN Surabaya. Risalah pembelaan setebal 12 halaman itu, mengungkap keganjilan-keganjilan dan keraguan terhadap bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dari sekian banyak barang bukti, tidak ada yang disita dari terdakwa atau yang menghubungkan terdakwa dengan kejadian yang didakwakan JPU. Terlebih lagi JPU tidak bisa menunujukkan bukti kunci terjadinya pencurian ini mengingat tidak ada sarang burung yang disita.

“Pledoi itu ditanggapi JPU dengan ketidaksiapan dan minta sidang ditunda hingga Senin (9/12) untuk memberikan replik atau tanggapan atas risalah pembelaan terdakwa. Dalam replik-nya, JPU menyangkal pembelaan terhadap terdakwa,” kisah Sururi.

Abdi, teman dekat Sururi ikut menambahkan, “Memang aneh mas. Saya tidak tahu barang curian itu dijual kepada siapa? Terus barang seberat 4 kilogram itu larinya kemana? Kok tidak menjadi barang bukti? Kalau sudah jadi uang, uangnya dari siapa ke siapa? Padahal saya juga terus mengikuti persidangan.”

Menurut Wiriani SH, berdasarkan alasan-alasan dan pembuktian sebagaimana terurai dalam pembelaannya tersebut, terdakwa Idola Tri Candra secara meyakinkan tidak terbukti bersalah melanggar pasal 363 (1) ke -4 KUHP Jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Selanjutnya ia memohon kepada majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya agar membebaskan Terdakwa (Vriijspraak) atau, melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van rechs Vervolging) dan membebankan ongkos perkara kepada Negara.

Aksi Solidaritas
Sementara itu, siang kemarin puluhan pemuda yang mengatasnamakan ASPR (Arek Suroboyo Pro Revolusi) mendatangi perusahaan milik Arief Soeharsah atau biasa dipanggil Bin Ho di jalan Kertajaya Indah Timur no. 110 Surabaya. Secara bergantian, mereka berorasi di depan perusahaan sarang burung walet yang mirip rumah hunian mewah tersebut. “Yang terjadi bukan pidana pencurian! Selain dijaga polisi dan Satpam, jika setiap pulang kerja, karyawan perempuan dibuka BH dan celana dalamnya oleh penjaga gudang. Yang terjadi adalah pelecehan,” koar Katno, seorang peserta aksi.

Dalam orasinya, mereka juga sangat menyesalkan posisi buruh di negeri ini yang masih saja terus-menerus menerima ketidakadilan saat berhadapan dengan hukum dan pengusaha atau pemilik modal.

Aksi solidaritas yang berlangsung sekitar setengah jam ini menarik perhatian orang-orang yang kebetulan berada di sekitar rumah tersebut. Orang-orang ini ikut bergerombol untuk melihat peristiwa yang terjadi bahkan ikut berkomentar. “Sepertinya ini adalah contoh pengusaha hitam yang selalu menggelapkan pajak,” ujar seorang penonton aksi yang enggan disebut namanya. (*)

Resmi Ditahan, 21 Mahasiswa yang Unjuk Rasa di DPR

Dua puluh satu mahasiswa yang melancarkan aksi unjuk rasa di DPR hari Selasa (14/12), sejak Rabu (15/12) sore resmi ditahan polisi di Polres Metro Jakarta Pusat. Penahanan atas 21 orang mahasiswa dua diantaranya wanita dengan tuduhan menghina Presiden, sebagaimana di atur pasal 134 KUHP ( Kitab Undang - undang Hukum Pidana ) Jo pasal 155 (1) ke-le KUHP.

Kadispen Polda Metro Jaya Letkol (pol) A Latief Rabar kepada pers Kamis siang (16/12) mengatakan, ke-21 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di pulau Jawa ini ditangkap saat mereka melancarkan aksi unjuk rasa di DPR. Sampai Kamis kemarin, polisi masih melakukan pemeriksaan intensif terhadap 21 mahasiswa itu. Mereka telah memenuhi unsur cukup bukti permulaan atas pelanggaran pasal 134 Jo pasal 155.

Polisi menyita empat spanduk ( dari 24 spanduk ) dan sebuah poster yang dibawa para pengunjuk rasa di DPR. Polisi juga sudah mendengarkan keterangan 12 saksi yang melihat, mendengar dan mengetahui aksi unjuk rasa tersebut.

Letkol Latif Rabar juga menjelaskan, pihaknya akan mencek ke kampus masing - masing tentang kebenaran status mahasiswa. Polisi juga masih menyelidiki apakah ada pihak ketiga di balik aksi tersebut.

Dari 21 mahasiswa yang ditangkap, tiga diantaranya yang melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Sekretariat Negara ( Sesneg )beberapa hari sebelumnya. Tiga mahasiswa ini waktu itu hanya dimintai keterangan dan tidak ditahan polisi, namun ternyata mereka ikut lagi aksi unjuk rasa di DPR.

Letkol Latif Rabar tidak bersedia menyebut nama ataupun singkatan nama mereka berasal. "kalau disebutkan dalam media massa, mereka nanti merasa jadi pahlawan, "kata Latif Rabar.

Pasal 134 KUHP adalah tentang penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau wakil Presiden. Pelakunya diancam pidana penjara paling lama enam tahun, atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Sedangkan pasal 155 KUHP menyebutkan, barang siapa menyiarkan, mempertunjukan atau menempel dimuka umum tulisan atau lukisan yang mengandung pernyataan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda empat ribu lima ratus rupuah.

Aksi unjuk rasa di gedung DPR pada hari selasa pekan ini, dilakukan oleh sekitar seratus orang yang menamakan diri Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI). Mereka menyampaikan keluhan tentang penerapan pendekatan keamanan dalam penanganan berbagai kasus, mereka menuntut agar DPR dan MPR segera menghimpun masukan guna mempersiapkan jawaban atas pidato pertangguanjawaban Presiden di awal tahun depan.

Dalam pernyataan tertulisnya waktu itu, para pengunjuk rasa menyampaikan keprihatinan atas penanganan belasan kasus seperti Haur Koneng, Rancamarya, Marsinah, dan kasus Nipah yang mereka nilai tidak memperhatikan harkat dan martabat kemanusiaan. FAMI juga minta agar pemerintah meninjau kembali keberadaan lembaga ekstra yuridisiil Bakorstanas. pemerintah diminta menindak tegas menurut hukum bagi aparat sipil dan militer, yang bersalah melakukan pendekatan keamanan di kasus - kasus lokal (kompas,15/12)


( Kompas, 17 Desember 1993 )

Mengeritik Tidak Sama Dengan Menghina

Studi Kasus Unjuk Rasa Front Aksi Mahasiswa Indonesia

Oleh : Gunanto Daud

Belum lekang dari ingatan kita tentang kasus unjuk rasa yang dilakukan oleh Front Aksi Mahasiswa Indonesia di Gedung DPR/MPR RI pada tanggal 14 Desember 1993, yang mana berakibat dipidananya 21 mahasiswa. Ke dua puluh satu mahasiswa tersebut secara bersama sama didakwa dan diputus bersalah melanggar pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden. Pada saat itu, hampir setiap hari pers nasional maupun lokal memuat berita tentang proses penangkapan, pengadilan dan pemidanaannya. Polemik terjadi dimana mana, ada yang pro maupun yang kontra dan tak kurang mulai dari rakyat awam sampai Profesor angkat bicara. Semua jadi bertanya tanya; Apakah kriteria dari unsur penghinaan terhadap Presiden itu, tepatkah pasal tersebut dikenakan terhadap mahasiswa yang notabene sedang menjalankan fungsi partisipasi politiknya,bagaimana sejarah keberadaan pasal tersebut dalam rumusan KUHP, Apakah itu bukan upaya menghambat demokratisasi,dst. Dengan diputus bersalah oleh Pengadilan, orang semakin bertanya-tanya; Apa dasar pertimbangan Hakim memutus mereka bersalah? Jawab atas pertanyaan tersebut sampai kini belumlah tuntas, artinya setiap saat sangat dimungkinkan untuk terjadi lagi polemik mengenai masalah penghinaan presiden.

Sekarang ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat - tempat dan dengan dakwaan pasal yang sama seperti kasus 21 mahasiswa - Dr.Ir. Sri Bintang Pamungkas sedang diadili. Pengajar Fakultas Teknik Universitas Indonesia ni didakwa oleh tim jaksa telah menghina Presiden saat memberi ceramah di hadapan mahasiswa Indonesia di Berlin. Benarkah Sri Bintang Pamungkas telah melanggar pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden? Apa definisi penghinaan presiden itu, kriteria dan unsur unsurnya? Tulisan ini disadur dari karya skripsi seorang pegiat politik dengan harapan agar sidang pembaca bisa memperoleh gambaran singkat mengenai persoalan unjuk rasa dan delik penghinaan presiden, dipandang dari kacamata sosiojuridis.

Definisi dan Pendapat Para Saksi Ahli

Penghinaan merupakan titel dari Bab XVI Buku II KUHPidana, yang termuat didalam pasal 310 sampai dengan pasal 321. Penghinaan dalam pasal-pasal tersebut diikuti dengan penegasan, apa yang benar-benar diartikan dengan kata 'penghinaan'. Ada dua pembedaan berdasarkan sifatnya yaitu secara subyektif dan obyektif. Subyektif artinya berupa menyerang kehormatan orang lain atau lebih konkritnya menyinggung rasa kehormatan dan secara Obyektif artinya bersifat menyerang nama baik orang.

Secara tegas yang namanya penghinaan yaitu segala penyerangan kehormatan dan nama baik orang seseorang dengan tidak memuat suatu tuduhan melakukan perbuatan tertentu atau tidak ditujukan untuk menyiarkan kepada khalayak ramai, dapat dihukum, tetapi terbatas pada cara-cara melakukannya, yaitu; dimuka dengan lisan; dimuka umum dengan surat; dimuka orang itu sendiri dengan lisan; dimuka orang itu sendiri dengan perbuatan; dengan surat yang dikirim atau diterimakan kepadanya. Perbuatan penghinaan yang ditujukan kepada setiap orang dapat dibedakan kedalam beberapa jenis perbuatan yaitu; menista, menista dengan tulisan, memfitnah dan penghinaan biasa.

Rumusan penghinaan terhadap kepala negara sebagaimana diatur dalam pasal 134 KUHPidana mempunyai arti yang sama dengan penghinaan pada umumnya, yakni perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, hanya tanpa syarat-syarat lain seperti diatur dalam pasal 315 KUJPidana. Salah satu unsur dalam pasal 134 KUHPidana adalah 'sengaja', yang menurut Majelis Hakim saat itu, terdakwa (21 mahasiswa) terbukti mengetahui isi spanduk ( 'seret presiden ke sidang istimewa MPR' ) dan tetap membentangkannya di halaman parkir gedung DPR/MPR RI dan di lobby Lokawirashaba., sehingga menghendaki perbuatan dan tujuan dari perbuatan.

Menurut hemat penulis skripsi ini, Majelis Hakim hanya melihat isi spanduk tapi tanpa melihat secara kontekstual maupun latar belakang penulisan spanduk tersebut. Konteks dari tulisan 'seret Presiden....' itu sebenarnya ditujukan kepada anggota MPR. Artinya kedatangan para terdakwa adalah dalam rangka menyampaikan aspirasi politik, meminta dan mendesak agar MPR sebagai lembaga tertinggi pemegang mandat kedaulatan rakyat, melakukan sesuatu guna meminta pertanggungjawaban presiden. Sabam Sirait, yang juga anggota dewan dan kebetulan juga sebagai saksi, membenarkan hal tersebut. Sasaran mahasiswa adalah anggota DPR/MPR RI, bukan Presiden. DPR/MPR RI adalah memang satu lembaga penyaluran aspirasi rakyat dan yang menurut saksi ahli lain yaitu Prof.Dr. Franz Magnis Suseno, bukan merupakan tempat umum sebagaimana dimaksud oleh pasal 134 KUHPidana. Adanya penghinaan, sebagaimana dimaksud pasal 134 KUHP, disamping dilakukan ditempat umum juga haruslah semata-mata dengan maksud menghina Presiden.

Tulisan spanduk 'Seret Presiden ke Sidang Istimewa..' mengandung muatan politis dan setiap kata kata politis, menurut Dr.Ir. Sri Bintang Pamungkas yang juga menjadi saksi, merupakan kritik bukan penghinaan. Makna hukum kalimat tersebut menurut pakar hukum pidana Prof.Dr. J:E Sahetapy adalah konstitusional.

Guna mengetahui apakah perbuatan tersebut masuk kedalam rumusan penghinaan atau bukan, musti dipahami dulu isi maupun konteksnya. Secara faktual, mahasiswa datang dengan membawa poster, spanduk, puisi, ungkapan baik lisan maupun tulisan sebagimana dalam dakwaan dapat dikatakan bahwa itu merupakan ungkapan tidak langsung dari satu perasaan ketidakpuasan dan ingin perubahan ke arah yang lebih baik. Ungkapan ketidakpuasan atau kritik itu juga harus dilihat dari persepsi masyarakat, dalam hal ini mahasiswa. Mengapa dalam menghadapi situasi seperti ini dimana banyak terjadi kasus yang merugikan rakyat, DPR/MPR RI hanya diam?

Latar belakang penilaian atau persepsi masyarakat merupakan politik yang wajar. Sebagaimana Franz Magnis Suseno katakan dihadapan sidang ; Apa yang dilakukan mahasiswa tersebut masih dalam kerangka, baik secara philosopis dalam arti demokrasi maupun secara hukum positip sebagaimana pasal 28 UUD 1945 dan kritik merupakan salah satu cara merealisasikan pendapat masyarakat terhadap apa yang terjadi di negara ini.

Mengapa kritik harus disampaikan dengan kata kata menggigit ? Agar orang yang membaca dapat mengetahui maknanya, ujar Prof. Dr. JE Sahetapy di hadapan sidang, sebagaiamana kalimat 'Subandrio anjung Peking' yang mengandung makna kedekatan Subandrio dengan Pemerintah Cina saat itu. Dalam sidang yang sama, saksi lainnya Ali Sadikin juga mengatakan itu bukan penghinaan tapi kritik. Jadi kesemuanya berpendapat bahwa hal yang melatarbelakangi adanya kata-kata tersebut adalah peristiwa politik, sehingga tidak ada sanksi hukumnya. Dipertegas dengan kesaksian KH: Abdurrachman Wachid yang mengatakan bahwa;...perilaku mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa tanggal 14 Desember 1993 adalah merupakan partisipasi politik yang merupakan bagian dari proses timbal balik, jadi ada sebab-sebab di luar terdakwa yang membuat mereka bereaksi terhadap keadaan tersebut, sehingga mereka mengambil langkah-langkah tertentu yaitu unjuk rasa.

Dalam memberi putusan terhadap para terdakwa 21 mahasiswa itu tampak adanya pengabaian substansi dari persoalan unjuk rasa. Artinya putusan bersalah melanggar pasal 134 KUHP hanya dilihat dari terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana dalam suatu pasal guna memasukkan tindakan yang didakwakan itu kedalam kwalifikasi sebuah delik dalam undang undang. Cara berpikir yang yuridis dogmatis semacam putusan itu, melaksanakan hukum hanya dilihat melulu dari isi aturan semata, dalam perspektif perkembangan hukum akan merugikan dan cenderung terjadinya stagnasi pemikiran dalam dunia hukum. Guna mencapai kebenaran substantif dan materiil, azas hukum pidana universal, sebagaimana diinginkan oleh segenap masyarakat tentulah memang tidak mudah. Namun hal tersebut tidaklah mustahil, sebab sistem hukum memungkinkan pencaharian kebenaran jauh melampaui batas batas peraturan formal. Sebagaimana dimaksud oleh pasal 23 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 yang mengatakan bahwa tiap tiap kejadian yang berimplikasi hukum hampir selalu terdapat unsur kepentingan yang kompleks seperti faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat yang potensial membawa perubahan.

Jelas bahwa penjatuhan pidana terhadap ke-21 mahasiwa itu lebih bertujuan sebagai alat represi negara daripada usaha penegakan hukum. Padahal, kewajiban hakim sebagaimana diatur dalam pasal 14 dan pasal 27 UU Nomor 14 Tahun 1970, ' Sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat'. Maka hendaknya seorang hakim dalam menangani satu perkara harus selalu berusaha membuktikan; Apakah betul peristiwa itu terjadi, Apakah betul peristiwa itu merupakan tindak pidana, apakah sebab-sebab peristiwa itu terjadi dan siapakah orang orang yang bersalah melakukan peristiwa tersebut. Upaya tersebut guna mendekati keadilan substantif sebagaimana diinginkan oleh pencari keadilan.
Hukum Represif dan Hukum Responsif

Dari putusan tingkat pertama, pertimbangan yang dijadikan dasar pengambilan putusan tidak mencerminkan nilai obyektifitas dengan tidak menempatkan FAMI ke dalam perspektif kesejarahan yang tepat dan proporsional. Pertama; Sebagai bagian dari gerakan mahasiswa Indonesia yang lahir dari kuatnya arus demokratisasi , yang selalu mencoba menawarkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan bernegara, mencoba melihat tatanan kenegaraan secara rasional sehingga dianggapnya tidak ada satu kekuasaan dalam tatanan kemasyarakatan yang sakral. Kedua; 21 mahasiswa anggota FAMI merupakan generasi muda yang gelisah dan resah melihat realitas sosial dan realitas politik sehingga mengambil reaksi berupa aksi unjuk rasa. Juga dengan nada yang sama dikatakan oleh Prof. James Perkins, mantan Rektor Cornell University, Ketidakpuasan dikalangan mahasiswa adalah indikasi ketidakpuasan masyarakat pada umumnya. Ketidakpuasan dikalangan mahasiswa merupakan early warning bagi pemerintah. Dalam bahasa Frank A. Pinner, mahasiswa dikatakan sebagai orang yang terpanggil dan pelopor gagasan-gagasan baru ke arah perombakan susunan kemasyarakatan, yaitu golongan mahasiswa transgresif, yaitu golongan yang bercita-cita ke arah perubahan tata susunan sosial politik, sehingga terbentuk masyarakat yang lebih memenuhi rasa keadilan. Ketiga; Kesaksian para ahli yang dijadikan pertimbangan hakim hanyalah diambil sepenggal sepenggal atau tidak utuh. Menurut Saiful Bahri, SH, anggota tim pengacara, keterangan dari terdakwa; saksi ahli maupun pembela sangat dikesampingkan. Hal itu dapat dilihat dari amar putusan yang cenderung bersifat formal dengan tanpa melihat realitas yang terjadi di masyarakat.

Pada putusan pengadilan tingkat banding, pidananya diperberat dengan dasar pertimbangan bahwa persidangan dijadikan ajang propaganda politik oleh terdakwa. Hal ini merupakan pemaksaan hukum menngingat dasar pertimbangan tersebut hanya didasarkan pada opini dalam mass media. Keadaan yang demikian itu, menurut Nonet dan Selznick adalah mencirikan kondisi hukum yang berciri quasi hukum represif dan hukum otonom.. Dalam hukum otonom yang dipersoalkan adalah legitimasi daripada mempermasalahkan tertib sosial. Legitimasi ini didasarkan atas ide bahwa tata tertib sosial dapat dibuat sah apabila penggunaan kekuasaan diletakkan dibawah pengawasan dari prinsip prinsip konstitusional, prosedur prosedur formal dan institusi institusi yang bebas. Sedangkan dalam hukum responsif pada akhirnya yang dipermasalahkan adalah tujuan tertib sosial, yang mana tipe ini berasal dari suatu hasrat untuk membuat hukum lebih bertujuan didalam rangka melayani manusia dan institusi untuk mencapai tidak hanya keadilan formal tetapi keadilan substantif.

Hukum represif sendiri adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tertib sosial yang represif. Mengenai rejim yang represif, lebih lanjut dijelaskan oleh Nonet dan Selznick, sebagai berikut; suatu rejim yang menempatkan semua kepentingan didalam keadaan yang sangat tidak menentu dan terutama kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem privilise dan kekuasaan yang ada. Tetapi setiap tata politik adalah represif dalam beberapa hal dan sampai taraf tertentu. Dalam hal ini represif bukanlah terlalu disebabkan oleh tidak adanya kompetisi melainkan juga oleh pengerahan kebijakan kepada tujuan tunggal. Tujuan dan kepentingan yang beragam akan dikebiri apabila program umum mulai membentuk cetakan yang uni-dimensional.

Tujuan utama dari hukum pidana adalah mengembalikan ketertiban dalam masyarakat yang telah mengalami kegoncangan akibat dari adanya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih. Dalam hal ini, peran hakim sangat menentukan. terutama melalui putusan putusannya sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 8 dan ayat 9 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kewajiban atau tugas hakim ini hanya dapat terwujud apabila para hakim selain memiliki kemampuan dan menguasai ilmu hukum juga bisa mengetahui perkembangan dinamika sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Dengan kemampuan tersebut, kiranya dapat dicapai satu pendekatan terhadap nilai-nilai keadilan substantif melalui putusannya. Jika hakim hanya berpikir yuridis dogmatis justru akan menempatkan hukum dalam posisi yang menjauh dari realitas yang pada akhirnya terjadi stagnasi dalam perkembangan pemikiran hukum.

Dalam putusan terhadap ke-21 mahasiswa yang tergabung dalam FAMI, hakim telah menyatakan bahwa mereka telah secara sah dan terbukti bersalah, yang dilakukan secara bersama sama sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 134 jo pasal 55 KUHPidana. Dalam pertimbangannya dikatakan bahwa unsur unsur tindak pidana penghinaan Presiden telah terpenuhi yakni dengan adanya spanduk dan gubahan lagu Nona Manis Siapa yang Punya...yang mana walaupun para terdakwa mengetahui isi spanduk ternyata masih membentangkannya di halaman parkir gedung DPR/MPR RI. Sedangkan terpenuhinya unsur unsur pasal 55 ayat 1 KUHPidana yaitu dengan adanya kerjasama yang diinsyafi oleh ke-21 mahasiswa dan mereka telah melakukan perbuatan pelaksanaan. Dengan demikian syarat penyertaan telah terpenuhi dan masuk kwalifikasi 'orang yang melakukan' sebagaimana dimaksud pasal 55 (1) KUHPidana.

Dengan telah terpenuhinya unsur-unsur tersebut, maka majekis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan pidana kepada 21 mahasiswa dengan masa hukuman variatif antara 6 sampai dengan 8 bulan. Pada Pengadilan tingkat banding, di Pengadilan Tinggi Jakarta, hukumannya diperberat secara variatif antara 8 bulan sampai dengan 14 bulan.. Hal pemberatan itu didasarkan pada pertimbangan 'bahwa sidang pengadilan telah dijadikan ajang propaganda politik oleh para terdakwa'.

Penjatuhan pidana yang didasarkan atas terpenuhinya unsur unsur sebagaimana dimaksud oleh undang undang dengan tanpa melihat perbuatan unjuk rasa dalam perspektif sosial politik merupakan cerminan adanya pemaksaan penerapan hukum pidana. Hukum pidana sekedar berfungsi sebagai alat represi oleh penguasa terhadap aspirasi rakyat sebagaiamana teorinya Nonet dan Selzsick. Hukum represif adalah hukum yang hanya mengabdi pada kekuasaan. Dalam konteks ini, pendekatan secara pemidanaan jelas tidak tepat, bukannya menyelesaikan malahan menimbulkan persoalan baru yang lebik kompleks.
Kesimpulan dan Saran

Masalah unjuk rasa dilihat baik dari kacamata filosofis yuridis maupun sosio politis adalah sah dan bagian yang wajar dari kehidupan bernegara yang demokratis. Pendapat para saksi ahli dihadapan persidangan semakin menguatkan kenyataan tersebut. Oleh karenai tu, hendaknya dalam masalah unjuk rasa (cat.FAMI), dilihat terlebih dahulu konteks sosial politik serta realitas yang melingkupinya. Upaya pemidanaan lewat perangkap yuridis sama maknanya dengan pemaksaan terhadap keberlakuan hukum pidana dan jelas tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Unjuk rasa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dinamika negara demokrasi, hendaknya disikapi melalui jalan :
Pendekatan dialogis, dengan cara membuka saluran komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat.
Mencari serta berusaha memecahkan akar permasalahan yang melatarbelakangi adanya unjuk rasa.
Agar ada kepastian hukum, hendaknya segera dibentuk peraturan perundangan tentang unjuk rasa yang mengacu pada Pasal 28 UUD 1945 dan nilai nilai demokrasi.

Catatan :
Tulisan ini dicuplik dari karya skripsi saudara Joko Gundul yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Pemidanaan Aksi Unjuk Rasa Di Gedung DPR/MPR RI (Studi Kasus Aksi Unjuk Rasa Front Mahasiswa Indonesia), dan telah dinyatakan lulus dihadapan sidang dewan penguji Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.

Kedaulatan Rakyat, Mimpi Yang Tak Kunjung Datang

Sebuah Pendekatan Juridis Ketatanegaraan
Terhadap Kelembagaan Negara

Oleh : Gunanto Daud

Kedaulatan Rakyat atau demokrasi adalah sebuah kata magis yang mampu membius berjuta manusia di belahan dunia manapun dengan tanpa mempedulikan sekat sekat konvensional. Sepertinya kata itu menjadi sejenius obat mujarab bagi rakyat, apalagi tertindas. Semua perjuangan demi perbaikan nasib rakyat selalu mengatasnamakannya dan pada dasarnya adalah sebuah upaya mengejawantahkan kata itu kedalam keseharian. Tetapi disisi lain ada usaha yang menghalangi, terutama dari pihak yang berkuasa, dan tak jarang ditebus dengan harga yang amat mahal. Sebab seiring dengan menguatnya posisi kata itu maka semakin melemah pula posisi kekuasaan dalam masyarakat. Sangat tampak sekali dalam usaha menjabarkan makna kata itu penuh dengan konflik kepentingan antara pihak yang berkuasa dengan rakyat.

Sesungguhnya memperbincangkan konsep kedaulatan rakyat itu adalah berbicara tentang keberadaan jaminan akan hak hak rakyat, baik yang tertuang dalam konstitusi maupun dalam penegakan hukumnya (law enforcement). Pernyataan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan rakyat tentunya akan melahirkan sistem kekuasaan yang akan menguntungkan mayoritas. Rakyat-lah yang menjadi sumber dan soko guru utama kekuasaan. Negara sebagai lembaga baru ada setelah rakyat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu membuat satu perikatan atau kontrak sosial. Dalam hal kepengurusan negara, rakyat kemudian mendelegasikan kepada institusi pemerintah. Pemerintahan satu negara baru ada kemudian setelah rakyat membentuknya lewat mekanisme ketatanegaran. Dari proses perkembangan negara dikemudian hari ternyata banyak ditemukan fakta adanya pemutar balikan makna hubungan antara negara dengan rakyat/masyarakat sipil. Seringkali pemerintah dengan mengatasnamakan negara membuat satu kebijakan yang justru merugikan rakyat. Hak rakyat diabaikan bahkan tidak jarang tidak diakui keberadaannya dalam sistem konstitusi.. Sampai sejauh mana ancaman terhadap hak hak rakyat tergantung atas sejauh mana konstitusi menjamin hak tersebut dan membatasi kekuasaan dalam bertindak. Sebab perbuatan penyalahgunaan kekuasaan adalah kecenderungan umum yang berlaku bagi semua tipe kekuasaan. Kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak pasti-lah disalahgunakan. Kesadaran akan bahayanya jika kekuasaan tidak terbatas/absolutisme itulah motiv awal yang memunculkan konsep kedaulatan rakyat. Jika kekuasaan tidak dibatasi pastilah terjadi pelanggaran hak, penyalahgunaan kekuasaan dan kehancuran negara.

Contoh kasus absolutisme yang berakhir dengan kehancuran terjadi pada tahun 1793 di Perancis. Era pemerintahan Raja Louis XVI adalah suatu jaman dimana kemiskinan, kelaparan, dan pajak yang tinggi bisa berdampingan dengan kenyataan tentang Raja korup yang hidup dalam istana mewah. Ratu Maria Antoinette yang gemar mengadakan pesta yang dibiayai kas negara. Pada situsi seperti itu, yang namanya rakyat hanyalah sekedar pelengkap penderita. Kebijakan publik diputuskan sepihak tanpa mengindahkan kebutuhan rakyat. Parlemen diadakan hanyalah untuk melegitimasikan segala keinginan penguasa, yang seringkali kelewat batas dan irrasional. Aku adalah negara dan negara adalah aku, ujar raja.

Lama kelamaan situasi yang mencekik seperti itu pastilah tak tertahankan oleh siapapun. Segelintir bangsawan dan mayoritas rakyat ingin perubahan. Titik kulminasinya saat rakyat bergerak ingin membatasi kekuasaan dengan menarik garis lurus tepat lewat leher raja, ratu beserta para bangsawannya. Kesemuanya mati dengan leher terpenggal di tiang guillotine. Saat kepala raja jatuh masuk kedalam keranjang algojo, dengan gemetar rakyat menyaksikan bahwa yang namanya 'Putera Matahari' itu juga manusia biasa, terdiri darah dan daging yang sama dengan orang kebanyakan. Kekuasaannya bukanlah sakral berasal dari sorga, melainkan tergantung pada kemauan rakyat. Kemauan atau kehendak rakyat ini kemudian oleh para pemikir diformulasikan kedalam tataran filosofis teoritik dengan diberi nama teori kedaulatan rakyat. Gema dari lonceng jaman baru inilah yang kemudian dijadikan azas kehidupan bernegara modern dan diteriakkan dengan lantang di mimbar parlemen,' Kami berkumpul disini atas nama rakyat dan bubar atas perintah rakyat'.

Kini, konsep kedaulatan rakyat sebagai ide tentang pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat, sudah diterima dan menjadi kecenderungan umum. Cita pembatasan kekuasaan negara melalui penerapan secara nyata gagasan demokrasi dalam praktek ketatanegaraan diikuti dengan konsekuensi adanya dua prinsip dasar yakni kesamaan dan kebebasan politik yang dijamin secara tegas oleh hukum positif, khususnya peraturan perundangan tentang jaminan hak-hak rakyat. Dalam bukunya An Introductions to democratic theory, Henry Mayo menjelaskan bahwa yang namanya sistem demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan pemilihan yang berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana kebebasan politik. Secara kelembagaan kemudian diterjemahkan dalam bentuk lembaga pemilihan umum, partai politik, dan parlemen. Secara berkala diadakan pemilihan umum yang diikuti oleh seluruh rakyat pemilih, aspirasi dan sikap politik rakyat dinyatakan secara tegas lewat partai politik guna memilih para wakil yang akan mengawasi jalannya pemerintahan melalui lembaga parlemen. Prinsip prinsip pokok yang ada dalam sistem demokrasi ini kemudian mewabah , terutama era pasca perang dunia II, ke negara negara baru di wilayah Asia dan Afrika dan Indonesia termasuk didalamnya.

Negara Indonesia yang lahir dari rahim peradaban modern juga telah mengenal kata Kedaulatan Rakyat. Sejak saat pendiriannya telah dinyatakan secara tegas lewat rumusan konstitusinya, sistem demokrasi dan berbentuk republik. Tipe negara yang telah dicanangkan melalui konstitusi ini mengandung konsekuensi konsekuensi adanya kelembagaan parlemen (cat.DPR/MPR), pemilihan umum, partai politik (ingat: Maklumat Wakil Presiden No. X Thn.1946), dan lembaga Presiden . Namun perlu dicatat bahwa saat penyusunan prinsip dasar negara Indonesia yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945, dinyatakan bersifat sementara. Kelak kalau sudah siap akan disusun lagi UUD baru, yang lebih lengkap. Tugas membentuk UUD baru ini kemudian dibebankan kepada lembaga Konstituante. Dalam rentang waktu 15 tahun sejak proklamasi, Indonesia telah mengalami 3 kali perubahan UUD sekaligus perubahan kelembagan ketatanegaran. Dari UUD 1945, Konstitusi RIS, dan UUD Sementara dan terakhir kembali pada UUD 1945.

Pada tanggal 5 Juli 1959, dengan alasan lembaga Konstituante tidak mampu bekerja membuat UUD yang baru, Presiden Sukarno mengeluarkan sebuah Dekrit yang berisi ajakan untuk kembali ke UUD 1945. Dekrit Presiden 5 Juli membawa akibat hukum secara struktural kenegaran berupa perubahan kelembagaan dan prinsip prinsip dasar kenegaraan. Kabinet parlementer diganti dengan model kabinet presidensiil. Dari Demokrasi Parlementer berubah menjadi demokrasi Terpimpin. Dengan jatuhnya rejim Sukarno maka berakhirlah era Demokrasi Terpimpin. Didasarkan atas motiv politis dalam rangka mengkoreksi kesalahan rejim lama dan keinginan melaksanakan UUD 1945 dengan murni dan konsekuen, maka rejim baru yang dipimpin Jenderal Suharto mencanangkan sistem Demokrasi Pancasila. Sistem baru ini melakukan perombakan besar besaran atas warisan rejim lama, terutama yang berkaitan dengan penataan infra dan suprastruktur politik. Perampingan partai politik/fusi partai, azas tunggal, depolitisasi, kebijakan massa mengambang, ideologi pembangunan ekonomi, dst. yang dijalankan sampai kini. Apakah dengan melakukan perombakan total atas warisan rejim Orde Lama itu dengan sendirinya mampu memenuhi kebutuhan rakyat?

Realitas kekinian ternyata banyak ditemukan fakta adanya ketegangan antara rakyat dengan pemerintah terutama mengenai wujud perlindungan hak hak konstitusionil rakyat. Rakyat banyak yang protes dan ingin wujud yang nyata atas pengakuan hak tetapi disisi lain pemerintah sering gembar gembor dan merasa sudah melaksanakannya. Beragam argumen saling dilontarkan oleh para pihak yang berhadapan. Saking riuh rendahnya pertengkaran hingga terkadang malah mengaburkan persoalan dasarnya. Persoalan menjadi bergeser ketitik terminologi ekstrim kanan, kiri, komunis, liberalis, cekal, dan bui. Nampaknya obat mujarab ini semakin jarang ada di puskesmas puskesmas desa kalaupun ada harganya amat mahal dan tak terjangkau oleh isi dompet rakyat kebanyakan. Sebenarnya jenis obat apakah kedaulatan rakyat itu sehingga kini banyak dicari orang dikolong-kolong peradaban Indonesia modern, dan ironinya tak satupun yang menemukannya . Apakah ini bukan jenis obat baru hasil impor akibat adanya deregulasi ekonomi. Ataukah memang apa yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila itu adalah sistem yang menghendaki pereduksian hak hak rakyat.

Dari catatan sejarah tentang para Bapak Pendiri republik dapat diketahui bahwa sebenarnya ide tentang kebebasan dan persamaan, sebagai bagian integral dari konsep kedaulatan rakyat, bukanlah barang asing. Bahkan bisa dikatakan keberadaannya sama tua dengan ide negara Indonesia (staatsidee). Kenyataan tersebut bisa dilihat dari mewabahnya semangat negara nasional dan demokrasi yang melanda para pemuda terpelajar pada jaman itu. Salah satunya bernama Sukarno, dengan mengutip teorinya Ernest Renan, beliau selalu menekankan masalah persamaan nasib dan persamaaan cita cita sebagai syarat terbentuknya sebuah bangsa. Nasibnya sama yaitu dalam keadaan sama ditindas oleh kolonial Belanda dan cita citanya sama yaitu terwujudnya Indonesia yang merdeka dan berdaulat di atas wilayah bekas jajahan kolonial Belanda ( cat. Sabah, Serawak, Papua Nugini dan Timor Timur tidak termasuk.). Jauh sebelum tahun 1945, beliau pernah menulis dalam pidato pembelaan dihadapan sidang pengadilan kolonial, 'Toh...diberi hak atau tidak diberi hak; diberi pegangan hidup atau tidak diberi pegangan; Diberi penguat atau tidak diberi penguat; tiap tiap makhluk, tiap tiap umat, tiap tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya menggerakkan tenaganya kalau ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya dari teraniaya oleh suatu daya angkara murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsa, walau cacingpun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit. Seluruh riwayat golongan golongan manusia atau bangsa bangsa yang bergerak menghindarkan diri dari sesuatu keadaan yang celaka'. Perjuangan bagi rakyat tertindas adalah satu kewajaran yang musti diupayakan kemenangannya dalam suatu pengakuan yang riil terhadap hak hak dasarnya.

Terlepas dari adanya perdebatan di PPKI mengenai perlu atau tidaknya hak hak rakyat dicantumkan dalam konstitusi, para Pendiri Republik telah bersepakat tentang Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Berkaitan dengan masalah jaminan hak hak rakyat, Hatta dengan nada kuatir beragumen tentang perlunya jaminan terhadap hak hak warganegara. Konstitusi sebagai hukum dasar haruslah memuat secara tegas jaminan hak-hak warganegara. '.....akan tetapi kita mendirikan negara yang baru hendaklah kita memperhatikan syarat syarat supaya negara yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasarkan kepada gotong royong, usaha bersama; tujuan kita adalah memperbarui masyarakat, tetapi disebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan diatas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal mengenai warganegara disebutkan juga disebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya, Tiap tiap warganegara rakyat Indonesia, supaya tiap tiap warganegara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain lain'.(Naskah Persiapan UUD 1945).

Berangkat dari sejarah mengenai ide terbentuknya negara beserta konstitusinya, akan didapat satu gambaran yang terang mengenai tujuan didirikannya negara. Ide pembentukan negara mengandung sistem nilai yang memenuhi ruang kelembagaan negara, memberi makna dan arah bagi tujuan berdirinya sebuah negara. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 dapat ditemukan kata kata......Kedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada:.....'dan pada Pasal 1 Ayat 2 Batang Tubuh UUD 1945 dikatakan bahwa Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Rumusan ini semakin memberi gambaran yang terang bahwa Indonesia yang dimaksud para pendiri dahulu adalah Indonesia yang menjamin terwujudnya kedaulatan rakyat. Artinya, Rakyat benar benar berdaulat, ikut serta merumuskan kebijakan publik, mengawasi jalannya pemerintahan, melalui para wakil wakilnya di parlemen yang diawasi secara efektif lewat pemilihan umum yang didasarkan atas prinsip kebebasan dan persamaan politik. Klausul partisipasi rakyat dalam pemerintahan serta jaminan atas hak merupakan satu satunya alat penjelas yang logis dan masuk akal guna menerangkan makna kedaulatan dalam rumusan konstitusi.

Penjabaran lebih detail mengenai jaminan akan hak hak rakyat dituangkan kedalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 Batang Tubuh UUD 1945. Disitu diatur tentang jaminan mulai dari hak persamaan kedudukan didepan hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak berserikat,berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (hak politik), Hak memeluk agama dan beribadat, Hak bela negara, Hak mendapat pengajaran (pendidikan), Hak ekonomi dan juga Hak jaminan pemeliharaan dari negara bagi fakir miskin dan anak terlantar.

Memang ada persoalan juridis manakala konstitusi sebagai produk hukum tertinggi dan berkedudukan sebagai hukum dasar dalam kehidupan bernegara itu tidak segera dijabarkan kedalam aturan hukum operasional. Sebab konstitusi hanya memuat aturan dasar, prinsip prinsip dasar bernegara, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dengan negara, kelembagaan negara dan hak hak warganegara. Guna operasionalisasinya dibutuhkan perangkat hukum yang kedudukannya lebih rendah, yakni Ketetapan MMPR, Undang Undang, Peraturan Pemerintah , dan seterusnya sesuai dengan hirarki perundang undangan seperti diatur dalam Tap. MPR No. XX Tahun1966. Dalam Hal ini Konstitusi berkedudukan sebagai hukum dasar yang mana berfungsi sebagai acuan bagi produk hukum lainnya (cat. Asas hukum universal). Jikalau aturan perundang undangan dibawahnya tidak sesuai dengan konstitusi maka dengan sendirinya aturan tersebut batal demi hukum. Ada azas hukum yang mengatakan bahwa undang undang yang derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang undang yang lebih tinggi. Apabila hal itu terjadi maka undang undang yang derajatnya lebih rendah harus mengalah terhadap undang undang yang lebih tinggi (lex superior derogad lex inferior). Lantas siapa yang berhak menguji apakah suatu produk hukum itu sesuai atau tidak dengan konstitusi? Sistem hukum di Indonesia tidak mengenal adanya lembaga judicial review, Mahkamah Agung hanya mempunyai hak uji materiil terhadap peraturan di bawah undang undang, harus melalui kasasi, Mahkamah Agung hanya berwenang menyatakan bahwa peraturan itu tidak sah dan untuk pencabutan peraturan yang dinyatakan tidak sah dilakukan oleh instansi yang mengeluarkannya. Hal ini merupakan permasalahan juridis ketatanegaran yang harus segera dicarikan pemecahannya agar tertutup peluang penyelewengan konstitusi melalui perangkat undang undang. Mengingat sifat UUD 1945 yang teramat singkat, bahkan merupakan konstitusi tersingkat di dunia, yang butuh penjabaran lebih lanjut melalui perangkat hukum lain. Sudah saatnya dipikirkan mengenai kemungkinan mengenai peningkatan fungsi Mahkamah Agung sebagai Mahkamah Konstitusi yang berhak menguji undang undang terhadap Undang Undang Dasar. Hal ini mungkin sebab ketentuan seperti dalam UUDS 1950 yang menyatakan bahwa undang undang tidak dapat diganggu gugat tidak terdapat dalam UUD 1945. Mekanismenya bisa melalui lembaga amandemen atau dengan cara MPR sebagai lembaga tertinggi memberikan wewenang itu lewat sebuah Ketetapan MPR:

Sekarang bagaimana dengan realitas hukum yang ada, apakah sudah sesuai dengan semangat kedaulatan rakyat yang tercantum dalam konstitusi atau belum? Sudahkah amanat UUD1945 dijalankan? Nampaknya tidak mudah menjawab pertanyaan ini sebab yang namanya demokrasi itu tidak cuma ditentukan oleh keberadaan lembaga konstitusionil atau badan badan resmi menurut rujukan sistem demokrasi universal. Adanya pemilihan umum berkala bukan sekaligus adanya jaminan kebebasan dan persamaan politik. Adanya DPR bukan langsung berarti berfungsinya sistem perwakilan/checks and balances. Adanya MPR belum tentu berarti rakyat sudah berdaulat. Adanya pers belum tentu ada kontrol sosial. Ada lembaga peradilan belum memastikan keadilan. Adanya Komnas HAM bukan berarti pelanggaran HAM sudah berhenti. Keberadaan lembaga lembaga tersebut hanyalah sebagai indikator demokrasi formal semata sedangkan hakekat kedaulatan rakyat itu menuntut terwujudnya jaminan akan hak hak secara riil / nyata bisa dirasakan oleh yang empunya hak (demokrasi materiil)

Aspirasi rakyat adalah kehendak jaman yang tak terbantah dan tidak bisa dibendung, apalagi oleh kekuatan anasir-anasir primitif. Kini sudah saatnya diagendakan, guna menyambut datangnya abad baru, mengenai betapa pentingnya ada gerakan pemberdayaan masyarakat sipil, reformasi struktural, dan pembaharuan kepemimpinan nasional sebagai syarat pertama terciptanya suasana yang kondusif bagi terwujudnya cita kedaulatan rakyat. Satu kedaan dimana martabat manusia mendapat tempat yang layak dan segala kebijakan publik bisa dipertanggungjawabkan baik secara etis, moral dan rasional.

Pemberdayaan masyarakat sipil atau upaya menciptakan masyarakat sipil yang tangguh adalah syarat pertama dan utama. Berangkat dengan asumsi mengenai kekuasaan yang cenderung korup, kiranya mustahil dengan hanya melalui perangkat hukum dan jaminan perundangan terhadap hak hak rakyat maka dengan sendirinya akan tercipta situasi yang tanpa pelanggaran. Mekanisme kontrol serta fungsi partisipatif yang memadai bisa berjalan dengan semestinya, meski dalam situasi yang terburuk, jika kesadaran kritis rakyat sudah terbentu dan merata kesemua lapisan. Situasi terburuk bagi rakyat adalah sebuah keadaan dimana hukum tidak memberi jaminan secara layak terhadap hak hak rakyat. Hukum selain berfungsi sebagai alat rekayasa perubahan sosial, juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial. Dalam lingkup fungsi yang kedua inilah seringkali dilontarkan suatu dalih demi stabilitas dan terciptanya ketertiban sosial yang mantap, dengan tanpa mempedulikan azas azas hukum, aturan perundang undangan disiasati dengan melakukan manipulasi juridis. Upaya pensiasatan akan semakin gampang manakala dalam satu sistem hukum terdapat rechtvacum atau kekosongan hukum. Sebagai misal, kita tidak ingin mendengar lagi adanya alasan kekanak kanakan yang mengatakan bahwa pasal 28 UUD 1945 tidak lengkap memuat jaminan hak politik, karena ada kalimat .....ditetapkan dengan undang undang atau alasan bahwa pasal 5 UUD 1945 tidak memuat secara tegas pembatasan masa jabatan presiden kemudian hak hak tersebut dan pentingnya makna pembatasan jabatan presiden lantas diabaikan.

Agenda reformasi struktural, sebagai satu definisi yang terbatas ruang lingkupnya,, menuntut adanya pembaharuan kelembagaan negara. Redefinisi mengenai fungsi kelembagaan negara merupakan konsekuensi logis. Artinya, kesemuanya diupayakan penempatannya secara proporsional sesuai dengan semangat konstitusi modern yang menuntut adanya jaminan yang tegas terhadap hak hak rakyat dan pembatasan kekuasaan. Menertibkan kembali lembaga lembaga ekstra judisiil, mengembalikan fungsi partai politik, pemberdayaan lembaga perwakilan, peningkatan fungsi Mahkamah Agung, redefinisi pemilihan umum serta pembatasan masa jabatan presiden adalah contoh contoh agenda nasional yang strategis. (ingat. Lembaga Presiden adalah satu satunya lembaga tinggi negara yang belum diatur oleh undang undang).

Kiranya dengan melakukan upaya perbaikan tatanan sistem politik seperti apa yang dikehendaki konstitusi dan semangat demokrasi ini, kita akan terhindar dari kemungkinan luka luka struktural yang sudah ada meningkat menjadi borok yang menyakitkan semua pihak. Semoga tidak lama lagi kita semua juga akan mendengar suara merdu yang pernah terucap bertahun tahun yang lalu, 'Sekarang terjadilah jaman baru dan saudara saudara adalah saksinya',kata Goethe dalam rangka menyambut kemenangan rakyat Perancis di Valmy.

RAKYAT KUASA



Rakyat Kuasa (Demos Kratos)
menjadi simbol gerakan bagi para korban orba pimpinan Suharto (alm) dan kroni-kroninya.
Bukan berarti kami lemah karena kami malas atau bodoh. Orde Baru yang menjadikan kami, orang-orang di kampung, bapak-ibu jutaan anak, para petani tanpa tanah, nelayan tak berperahu, buruh, guru dan banyak di antara kami tak merdeka secara finansial, psikis dan cita-cita. Kami juga sering lemah dalam mengupayakan kesederhanaan sekalipun.

Ada masa kami, para korban orba bersabar, sampai sekarang pun sama. Perjuangan belum pernah selesai. Next Round begining. Pada akhirnya, para korban sendiri yang menentukan nasibnya. Menentukan sendiri pemimpinnya dan akan mengibarkan bendera pusakanya di puncak-puncak, bendera revolusi untuk sahabat.