Pertemuan Para Demonstran di Markas AL

BERITA SATU
Aktivis pro demokrasi di Surabaya dari kalangan kampus (dosen dan mahasiswa), LSM, organisasi-organisasi di berbagai elemen masyarakat (pemuda, mahasiswa, akademisi, jurnalis, pengacara, pengusaha kecil, buruh, seniman), yang sejak tahun 80-an aktif melakukan perlawanan terhadap orde baru dan memimpin gerakan reformasi ’98 mengkonsolidir diri ke dalam pertemuan yang mereka beri judul ’Halal Bihalal & Konsolidasi Arek Suroboyo’. Pertemuan ini diadakan di Restoran Jumbo, Kompleks Kodikal, Bumimoro, Perak.

Mereka, yang selama sepuluh tahun terakhir ini banyak bergerak secara terpisah dalam mengemban medan gerak masing-masing, kini kembali membangun komitmen bersama menyikapi momentum pemilihan Wali Kota Surabaya 2010. Para demonstran ini bertekad memberikan pendidikan politik lebih kongkret dengan jalan melibatkan diri dalam pilwali kali ini, dan berniat memajukan calonnya sendiri dari jalur independen.

Pertemuan yang dipandu oleh Muhaji Abriyah, salah seorang tokoh pimpinan gerakan mahasiswa 98, berlangsung gayeng dan serius. Tokoh tua dan muda dari masing-masing elemen, menyampaikan pandangan-pandangannya terkait penataan Surabaya ke depan. Mulai dari apresiasi pemerintah terhadap kesenian yang disampaikan oleh Luhur, pelaku seni yang aktif di Dewan Kesenian Surabaya (DKS), sampai pada kritik keras Ridho Syaiful Ashari, mantan Direktur Walhi Surabaya terhadap pengelolaan lingkungan yang selama ini dinilai jauh dari baik.

Dandik Katjasungkana, pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) Jawa Timur, yang didaulat mewakili gagasan kelompok pemuda, menegaskan maksud diadakannya pertemuan yang difasilitasi Perkumpulan Kebangsaan Anti Diskriminasi (PeKad) ini, ”Kita tidak usah bertele-tele lagi, langsung saja kerucutkan pembicaraan kita, pada mekanisme pencalonan Wali Kota Surabaya dari kita!”

Tjuk Sukiadi, akademisi Unair yang mewakili golongan tua, memandang politik sekarang dipimpin oleh uang. ”Ndak ada kalangan reformis mendapat ruang dalam politik sekarang ini,” tambahnya.

Fitradjaja Purnama yang mendapat giliran berbicara terakhir menerangkan, bahwa reformasi tidak gagal, meskipun disana-sini banyak kekurangan dan harus diperbaiki. Hanya saja, menurutnya, reformasi tidak berada di tangan rakyat, melainkan dikuasai oleh kepentingan asing yang meneruskan kolaborasinya dengan orang-orang lama yang menjadi bagian dari rezim orde baru. Namun, dia juga memandang, cukuplah reformasi sampai pada posisi sekarang ini. ”Kita sudah musti menata secara serius ke arah revolusi!” serunya.

Fitra juga memandang sudah waktunya kaum pergerakan mengelola politik dengan kekuasaan formal. ”Sudah cukup bagi kita mendampingi partai-partai politik yang bermunculan di era reformasi ini, sebagai bagian dari tanggungjawab kita untuk mewujudkan gagasan multi partai yang sejak awal kita usung,” tandasnya.
Pertemuan dilanjutkan menunjuk tiga puluh tiga orang sebagai representasi dari 153 organisasi dan komunitas yang tercatat hadir pada kesempatan itu. Ketigapuluhtiga orang yang selanjutnya disebut Tim 33 itu mendapat amanah dari forum yang menyepakati wadah baru dengan nama Konsolidasi Arek Suraboyo (KAS). Amanat tersebut pada pokoknya adalah, menyusun langkah-langkah untuk mewujudkan gagasan pemerintahan baru kota Surabaya dalam kepemimpinan rakyat.

Wawan ’Kemplo’ Hendriyanto, salah satu penggagas konsolidasi, yang ditemui usai acara, menyerukan kepada segenap elemen rakyat untuk serius dan bersatu padu menghadapi momentum pilwali Surabaya. ”Saatnya rakyat tidak menjual suara,” tegasnya.