Maklumat Surabaya

untuk Pemulihan Kedaulatan Negara

MENGGUGAT AMANDEMEN, MENOLAK LIBERALISME UUD 1945
MELEMBAGAKAN MUSYAWARAH, MEMPERKUAT KEDAULATAN RAKYAT


Terikat oleh keprihatinan yang sama, saat melihat keberadaan dan arah perjalanan Indonesia - sebagai sebuah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik sebagaimana dimaksudkan oleh, ayat (1), Pasal 1, BAB I Bentuk dan Kedaulatan, Undang Undang Dasar Tahun 1945 ; Di mana UUD 1945, sebagai konstitusi Negara tak terelakkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Proklamasi Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia yang bercita-cita untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia guna melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ; yang mampu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta turut melaksanakan ketertiban dunia.

Demikian keprihatinan itu berkaitan dengan substansi konstitusi hasil Amandemen UUD 1945, yang secara fundamental telah merubah nilai-nilai tentang Kerakyatan Indonesia ; yakni tentang kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan, diganti dengan norma dan kaidah kerakyatan-asing ; yakni tentang kebebasan, formalisme hukum, dan individualisme ; Demikian pemahaman nilai-nilai kerakyatan Indonesia – yang dipimpin oleh kemampuan berhikmah – bijaksana dalam bermusyawarah di dalam sebuah lembaga perwakilan untuk mencapai sebuah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ; diganti dengan norma dan kaidah demokrasi-liberal yang formal dan kuantitatif, oleh karenanya alergi pada dialog dan musyawarah, yang sesungguhnya merupakan inti-nilai dari sebuah demokrasi yang sejati.

Demikian demokrasi liberal yang formal dan kuantitatif itu diberlakukan, sebagaimana pemahaman tentang kedaulatan rakyat yang secara salah telah diletakkan sebagai sub-ordinasi di bawah kedaulatan hukum di dalam struktur konstitusi hasil Amandemen UUD 1945. Maka demokrasi substansial, tergantikan oleh demokrasi prosedural, yang transaksional ; yang pada ujungnya secara politik ketata-negaraan menyebabkan Kedaulatan Rakyat menjadi melemah, karena dalam keadaan tersandera oleh formalisme hukum.

Demikian pemahaman secara salah tentang hakekat dan tempat kedaulatan rakyat di dalam struktur konstitusi termaksud tersebut, berawal dari sebuah konsepsi dan asumsi politik yang keliru ; yang memandang bahwa pelembagaan kedaulatan rakyat dalam sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat selama ini, seolah-olah secara konstitusional tidak demokratis, dan menjadi sumber legitimasi dari praktek otoritarian pemerintahan sebelumnya. Oleh karena itu yang menjadi issue besar dan agenda utama dari Amandemen UUD 1945 dalam konteks kepentingan demokratisasi politik-pemerintahan adalah menghapus pelembagaan kedaulatan rakyat yang selama ini dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Maka secepatnya, dirubahlah rumusan konstitusional ayat (2) Pasal 1 UUD 1945 tentang Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, diganti dengan Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar ; Demikian rumusan Amandemen UUD 1945 tentang BENTUK DAN KEDAULATAN itu, pada faktanya bukan hanya sekedar menghapus kelembagaan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, yakni MPR . Namun lebih dari itu, secara substansial definitive, rumusan itu telah mengingkari keberadaan bahwa kedaulatan itu sendiri sebenarnya adalah rakyat – sebagaimana rakyat yang telah bertaruh jiwa dan raganya saat merebut kedaulatan (kemerdekaan) Negara. Demikian rumusan reduksi dari amandemen tentang KEDAULATAN itu adalah sebentuk pengingkaran atas keberadaan (pengorbanan) rakyat dalam mendirikan Negara , sebagaimana rumusan awal Kedaulatan adalah (di tangan) rakyat yang sepenuhnya dilakukan oleh MPR diganti dengan rumusan deskriptip artificial, yang hanya menerangkan letak atau tempat kedaulatan, yakni Kedaulatan berada di tangan rakyat, yang kemudian “diatur” pelaksanaannya menurut ketentuan UUD.

Demikian pengingakaran itu, dalam konteks keberadaan Kelembagaan Presiden, DPR, DPD, BPK dan Lembaga Tinggi Negara yang lain, dari sisi norma organisatorik telah mengacaukan struktur dan hubungan ketata-negaraan antar lembaga Negara yang selama ini sudah “mapan” terbangun. Sebagaimana keberadaan MPR sekarang yang sudah bukan merupakan Lembaga Tertinggi Negara - di mana garis garis besar daripada haluan Negara ditetapkan ; Sedangkan kedudukan Presiden, DPR, BPK dan lainnya sudah bukan merupakan Lembaga Tinggi Negara. Demikian tugas dan kewenangan kenegaraan masing-masing lembaga Negara itu tidak memiliki fungsi koordinatif antara satu dengan yang lain, sebab tanpa keberadaan fungsi “sentral” Lembaga Tertinggi Negara yang menjadi “pelaku” sepenuhnya Kedaulatan Rakyat.

Demikian kedudukan dan kewenangan masing masing lembaga Negara termaksud, diatur sebagaimana Undang Undang tentang masing-masing lembaga Negara mengaturnya.

Oleh karena itu, ketika Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai Kepala Pemerintahan Daerah ditetapkan oleh Undang Undang dipilih secara langsung oleh rakyat ; sebagaimana Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara juga ditetapkan dipilih langsung oleh rakyat ; atas tidak terdapatnya Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara, maka sesungguhnya secara politis-organisatorik, bentuk ketata-negaraan Indonesia sudah bukan sebagai Negara Kesatuan. Demikian pengikaran atas keberadaan kelembagaan kerakyatan itu sesungguhnya sebuah pengkhianatan pada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas keterikatan keprihatinan yang sama tentang terjadinya pengingkaran kedaulatan rakyat sebagaimana substansi Amandemen UUD 1945 ; yang secara lebih jauh sebagai bentuk kekhawatiran tentang keutuhan kedaulatan Negara dan keberadaan Pancasila sebagai Dasar Negara , maka Kami para Pemuda, Mahasiswa , Aktivis dan Pemikir Kerakyatan di Surabaya - atas berbagai fakta hukum dan politik yang terungkap – sebagaimana Kesimpulan dan Rekomendasi kegiatan Pra Musyawarah Kedaulatan Rakyat di Balai PUSURA Surabaya – tanggal 28 Oktober 2013, terlampir ; dengan ini memberikan kesaksian :

a) Bahwa PEMBAHARUAN KONSTITUSI NEGARA yang dilaksanakan melalui Amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; secara sosial-kultural tidak cukup mempunyai LEGITIMASI POLITIK. Sebab karena amandemen UUD 1945 telah merubah system ketata-negaraan dan pemerintahan. Demikian amandemen bukan hanya sekedar merubah pasal di dalam UUD 1945, lebih dari itu amandemen faktual telah membuat konstitusi baru. Demikian pembaharuan konstitusi , sebagai norma standard ketata-negaraan diwajibkan dilakukan melalui referendum, meski pun Ketetapan MPR dan Undang Undang yang mengaturnya telah dihapus ;-

b) Bahwa PEMBAHARUAN KONSTITUSI NEGARA yang dilaksanakan melalui Amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; secara material-konstitusional, ternyatakan BERTENTANGAN dengan Pancasila sebagai grand norma konstitusi negara , sebagaimana dimaksud secara tekstual oleh Alinea IV Preambule UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Dasar Negara, tentang Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, di dalam mencapai Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ;

c) Bahwa PEMBAHARUAN KONSTITUSI NEGARA yang dilaksanakan melalui Amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; secara formal-konstitusional, terbukti TIDAK MEMILIKI KEABSAHAN untuk dapat diberlakukan sebagai KONSTITUSI NEGARA .

Demikian sebab pemberlakuan Perubahan UUD 1945 tidak dilakukan melalui KETETAPAN MPR sebagaimana dimaksud dan diatur oleh Pasal 3, UUD 1945 ; Sebagaimana keberadaan GBHN Tahun 1999-2004 yang pemberlakuannya melalui TAP MPR No. IV/MPR/1999, Tentang GBHN, yang penetapannya secara konstitusional juga mengacu pada Pasal 3 UUD 1945 ;

Atas fakta hukum dan politik yang menjadi kesaksian kami di atas, dengan maksud mengingatkan bahwa eksistensi sebuah Negara secara formal-kenegaraan terletak pada konstitusinya, demikian MAKLUMAT SURABAYA dengan sepenuh kesadaran menyerukan kepada semua elemen organ kebangsaan di seluruh Indonesia, bahwa :

1. Secara de jure Kami menilai Konstitusionalitas Negara Republik Indonesia sejak Tahun 2002 sedang dalam keadaan mengalami “KEKOSONGAN KONSTITUSI”. Demikian sebab Amandemen UUD 1945 secara formal-konstitusional tidak dapat dibenarkan untuk dapat diberlakukan. Sedangkan kedudukan UUD 1945 itu sendiri, dengan berdasar pada BAB VI PERUBAHAN UNDANG UNDANG DASAR, Pasal 37, UUD 1945 ; secara material-formal- konstitusional sudah ter- Amandemen oleh MPR Periode 1999-2004 ;

2. Oleh karenanya, dengan ini kami menyatakan MENOLAK UNTUK MENGAKUI keberadaan dan pemberlakuan AMANDEMEN UUD 1945 sebagai KONSTITUSI NEGARA REPUBLIK INDONESIA , demikian penolakan kami sebagaimana pula atas keberadaan dan pemberlakuan seluruh produk hukum dan pelaksanaan pemilihan umum ikutan yang dibuat dengan berdasar dan sebagai turunannya ; Karena itu kami menilai bahwa, secara formal- konstitusional seluruh Warga Negara Indonesia menjadi dapat dibenarkan untuk tidak terikat secara sosial, politik atau pun hukum atas pemberlakuan AMANDEMEN UUD 1945 ;

3. Menjadi kewajiban sejarah dan tugas kenegaraan bagi semua elemen organ kebangsaan, khususnya Pemuda, Mahasiswa, Aktivis, dan Pemikir Kerakyatan di seluruh Indonesia ; untuk segera bergegas menyatukan visi dan missi dalam menyikapi keadaan Kekosongan Konstitusi Negara, dengan mempersiapkan konsepsi konstitusi atau pun melakukan konsolidasi organisasi memeperkuat kedaulatan rakyat, UNTUK TURUT AKTIF menyelesaikan masalah “KEKOSONGAN KONSTITUSI” ;

4. Menjadi kewajiban sejarah dan tugas kenegaraan bagi para PIMPINAN KENEGARAAN, khususnya kepada Presiden, Pimpinan TNI, Pimpinan MPR , DPR - DPD dan Pimpinan PARPOL Peserta Pemilu 2014, serta Pimpinan Lembaga Negara yang lainnya ; untuk secara BIJAKSANA dapat menerima dan menjadi makhfum bahwa PEMILIHAN UMUM adalah domain yang berbeda dengan konstitusi, karenanya BUKAN merupakan cara konstitusional untuk dapat menyelesaikan masalah kenegaraan tentang “KEKOSONGAN KONSTITUSI ;

5. Menjadi kewajiban sejarah dan tugas kenegaraan bagi semua WARGA NEGARA INDONESIA , khususnya kepada para PEMIMPIN KEBANGSAAN dan para PIMPINAN KENEGARAAN untuk dapat BERLAKU-BIJAKSANA membuat “Konsensus Nasional” sepakat menyelenggarakan MUSYAWARAH KEDAULATAN RAKYAT INDONESIA – untuk memulai sejarah baru kedaulatan rakyat Indonesia sebagai satu cara-benar menghadapi ‘KEKOSONGAN KONSTITUSI” yang diawali dengan pelaksanaan KAJI ULANG secara komprehensif atas Perubahan UUD 1945 ;

Untuk itu kepada Pimpinan MPR Periode 2009-2014, diharapkan mampu bertindak sebagai INISIATOR untuk segera mengundang secara bertahap, semua elemen kedaulatan rakyat - para PEMIMPIN KEBANGSAAN dan PIMPINAN KENEGARAAN, guna melakukan persiapan pelaksanaan MUSYAWARAH KEDAULATAN RAKYAT INDONESIA dalam menyelesaikan masalah ‘KEKOSONGAN KONSTITUSI” dengan menetapkan susunan, kedudukan dan keanggotaan KOMISI KONSTITUSI INDONESIA untuk melakukan pengkajian kembali hasil Amandemen UUD 1945 dengan mepersandingkan UUD 1945 sebagai referensi utama kajian.

# Pro Demus Indonesia