Konsolidasi Arek Suroboyo




Deklarasi KAS di Gedung Nasional

BERITA SATU
Sebagaimana kesepakatan para aktivis dan kelompok pergerakan Surabaya yang diambil saat pertemuan di Restoran Jumbo, Bumimoro beberapa waktu lalu, mereka benar-benar merealisasikan wadah baru yang diberi nama Konsolidasi Arek Suroboyo atau disingkat KAS. Realisasi menggelinding melalui rangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Tim 33 hasil Pertemuan Jumbo. Puncaknya, kemarin dilaksanakan deklarasi yang dilakukan di Gedung Nasional Indonesia (GNI). Seratusan orang hadir dalam acara sederhana yang diisi juga dengan musik dan performance art.

Wuri Handayani, anggota Tim 33 yang menjadi ketua panitia deklarasi, menyampaikan catatan kerja yang dilakukan tim sampai deklarasi dilakukan. Dia menyinggung tentang tiga kerja yang harus dilakukan, yakni pengorganisasian masyarakat Surabaya sebagai persiapan terbentuknya Dewan Warga, penjaringan dan pemenangan Walikota Surabaya, serta penyusunan agenda-agenda pokok penataan dan pengelolaan Surabaya.

Tjuk Sukiadi dalam orasinya.kembali menekankan perubahan tatanan secara mendasar dan perlunya kalangan reformis memegang kendali pemerintahan. “Ajaklah rakyat dalam konsolidasi dan bersama-sama melakukan perubahan,”tukasnya.

Acara yang sebelumnnya didahului dengan ziarah ke makam Dr. Soetomo di lingkungan Komplek GNI itu diakhiri dengan pembacaan naskah deklarasi yang dilakukan bersama-sama, dipimpin oleh Chrisman Hadi, advokad yang kerap melakukan pembelaan dalam kasus-kasus prodeo, yang juga salah satu anggota Tim 33.

Pertemuan Para Demonstran di Markas AL

BERITA SATU
Aktivis pro demokrasi di Surabaya dari kalangan kampus (dosen dan mahasiswa), LSM, organisasi-organisasi di berbagai elemen masyarakat (pemuda, mahasiswa, akademisi, jurnalis, pengacara, pengusaha kecil, buruh, seniman), yang sejak tahun 80-an aktif melakukan perlawanan terhadap orde baru dan memimpin gerakan reformasi ’98 mengkonsolidir diri ke dalam pertemuan yang mereka beri judul ’Halal Bihalal & Konsolidasi Arek Suroboyo’. Pertemuan ini diadakan di Restoran Jumbo, Kompleks Kodikal, Bumimoro, Perak.

Mereka, yang selama sepuluh tahun terakhir ini banyak bergerak secara terpisah dalam mengemban medan gerak masing-masing, kini kembali membangun komitmen bersama menyikapi momentum pemilihan Wali Kota Surabaya 2010. Para demonstran ini bertekad memberikan pendidikan politik lebih kongkret dengan jalan melibatkan diri dalam pilwali kali ini, dan berniat memajukan calonnya sendiri dari jalur independen.

Pertemuan yang dipandu oleh Muhaji Abriyah, salah seorang tokoh pimpinan gerakan mahasiswa 98, berlangsung gayeng dan serius. Tokoh tua dan muda dari masing-masing elemen, menyampaikan pandangan-pandangannya terkait penataan Surabaya ke depan. Mulai dari apresiasi pemerintah terhadap kesenian yang disampaikan oleh Luhur, pelaku seni yang aktif di Dewan Kesenian Surabaya (DKS), sampai pada kritik keras Ridho Syaiful Ashari, mantan Direktur Walhi Surabaya terhadap pengelolaan lingkungan yang selama ini dinilai jauh dari baik.

Dandik Katjasungkana, pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) Jawa Timur, yang didaulat mewakili gagasan kelompok pemuda, menegaskan maksud diadakannya pertemuan yang difasilitasi Perkumpulan Kebangsaan Anti Diskriminasi (PeKad) ini, ”Kita tidak usah bertele-tele lagi, langsung saja kerucutkan pembicaraan kita, pada mekanisme pencalonan Wali Kota Surabaya dari kita!”

Tjuk Sukiadi, akademisi Unair yang mewakili golongan tua, memandang politik sekarang dipimpin oleh uang. ”Ndak ada kalangan reformis mendapat ruang dalam politik sekarang ini,” tambahnya.

Fitradjaja Purnama yang mendapat giliran berbicara terakhir menerangkan, bahwa reformasi tidak gagal, meskipun disana-sini banyak kekurangan dan harus diperbaiki. Hanya saja, menurutnya, reformasi tidak berada di tangan rakyat, melainkan dikuasai oleh kepentingan asing yang meneruskan kolaborasinya dengan orang-orang lama yang menjadi bagian dari rezim orde baru. Namun, dia juga memandang, cukuplah reformasi sampai pada posisi sekarang ini. ”Kita sudah musti menata secara serius ke arah revolusi!” serunya.

Fitra juga memandang sudah waktunya kaum pergerakan mengelola politik dengan kekuasaan formal. ”Sudah cukup bagi kita mendampingi partai-partai politik yang bermunculan di era reformasi ini, sebagai bagian dari tanggungjawab kita untuk mewujudkan gagasan multi partai yang sejak awal kita usung,” tandasnya.
Pertemuan dilanjutkan menunjuk tiga puluh tiga orang sebagai representasi dari 153 organisasi dan komunitas yang tercatat hadir pada kesempatan itu. Ketigapuluhtiga orang yang selanjutnya disebut Tim 33 itu mendapat amanah dari forum yang menyepakati wadah baru dengan nama Konsolidasi Arek Suraboyo (KAS). Amanat tersebut pada pokoknya adalah, menyusun langkah-langkah untuk mewujudkan gagasan pemerintahan baru kota Surabaya dalam kepemimpinan rakyat.

Wawan ’Kemplo’ Hendriyanto, salah satu penggagas konsolidasi, yang ditemui usai acara, menyerukan kepada segenap elemen rakyat untuk serius dan bersatu padu menghadapi momentum pilwali Surabaya. ”Saatnya rakyat tidak menjual suara,” tegasnya.

in memoriam Aditya 'Didit' Harsa




Pemerintah Indonesia Harus paham bahwa kita semua telah kehilangan seorang pelopor pergerakan kaum muda. Dialah salah satu orang yang kemudian menjadikan demokrasi di republik ini kian subur dan menggiurkan. Semoga senantiasa ada damai di sisi Allah swt. Selamat jalan DIDIT... Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun. (brotoseno)

Demikianlah sms (sort message service) yang dibacakan oleh Gembos di hadapan ratusan orang yang hadir di rumah mendiang Aditya Harsa atau biasa dipanggil Didit ‘Dalbo’. Semua yang hadir menampilkan rasa kehilangan yang tak terucap. Gembos alias Bambang Yudho Pramono sendiri menyampaikan pidatonya dengan mata bersemu merah.

Beberapa waktu yang lalu, saya berada di rumah duka seorang kawan. Sinar matahari menyengat tanpa iba di atas kulit-kulit tangan dan wajah orang-orang yang berada di sana. Terlihat puluhan orang bergerombol di pintu gerbang yang telah dipadati mobil dan belasan sepeda motor. Beberapa meter dari pintu gerbang, berdiri sebuah rumah bercat putih dengan kusen kayu berwarna coklat dan kuning. Pagarnya telah dicopot. Di depan rumah ini terpasang terop yang menaungi puluhan orang, tua dan muda, laki-laki dan perempuan bahkan anak-anak. Agak ke timur, terlihat lagi puluhan pemuda dan banyak sepeda sepeda motor yang diparkir tidak teratur.

Seorang aktivis gerakan pro demokrasi berjalan pelan sambil menenteng sebuah megaphone ke hadapan orang-orang yang berada di bawah terop. Di lengan kirinya terlilit pita kain merah putih. Dia lalu mulai pidatonya dengan suara yang tidak keras namun mantap. “Kita semua telah ditinggal oleh seorang sahabat, saudara, sekaligus guru yang baik.” Suaranya menjadi serak, dan dia melanjutkan berbicara.

“Semasa hidup, Pak Didit, telah banyak memberikan teladannya. Beliau lebih memilih berkeliling naik vespa ke kampung-kampung dan ke dalam black community di Surabaya untuk membesarkan hati orang-orang, dan mengatakan kepada meraka, jangan menyerah, jangan pasrah. Itulah wasiat yang beliau tinggalkan bagi kita semua. Agar kita tidak berhenti bergerak dan memikirkan nasib orang-orang yang tidak beruntung, orang-orang yang tertindas tanpa sadar. Dan kepada semua orang yang berada di negeri yang masih kacau ini,” ujarnya menutup pidato.

Black community (masyarakat hitam/ gelap) biasanya berada di daerah kumuh yang banyak tersebar di penjuru Surabaya. Mereka yang tinggal di sana adalah penduduk Surabaya asli, meski ada beberapa yang datang dari luar kota. Kebanyakan dari mereka tidak kaya. Seringkali daerah-daerah ini menjadi TKP (tempat kejadian perkara) untuk kasus-kasus perjudian, penipuan, pencurian dan kekerasan dalam pemberitaan di media massa (Black in News). Bagi para black community, hal seperti itu adalah hal yang biasa. Kejadian-kejadian seperti itu adalah buah dari kesenjangan sosial yang terjadi di kota sebesar Surabaya. “Siapa yang paling nekat, dialah yang akan berjaya. Sura-wani, Boyo-nekat.” Bagi almarhum Didit, justru tempat-tempat seperti itulah yang suka dia datangi. Selalu, untuk beberapa lama, dia ‘menyelam’ dan akhirnya bersinergi dengan para black soldier dari black community.

Saya teringat kejadian bersama almarhum, 13 sampai 14 tahun yang lalu. Beberapa mahasiswa dari berbagai kampus termasuk saya sendiri mendatangi rumahnya dan mulai mengeluh. Salah seorang dari kami mengatakan, “Yang menginginkan perubahan keadaan hanya kita, kebanyakan orang di Surabaya tidak menginginkannya. Kita sudah berkeliling ke banyak kampung, ke kampus-kampus tetapi belum juga bertemu ‘kawan’ yang menerima ide perubahan. Jangan perubahan sosial, ekonomi, budaya, hukum atau politik, mendengarkan idenya saja meraka ingin cepat-cepat pergi melarikan diri.”

Mendengar keluhan kami, sambil tertawa, almarhum Didit mengatakan, “Kawan-kawan jangan sombong. Baru sosialisasi berkeliling kampung dan kampus saja sudah merasa paling menginginkan perubahan.”

Kami semua terdiam. Beliau melanjutkan.

“Bukan salah mereka karena tidak siap dengan ide perubahan. Mereka terlalu lama berada dalam goa yang gelap (dark cave). Tidak menyadari kalau sedang tertindas. Itu terjadi karena rejim membuat goa yang gelap tadi terasa nyaman. Saat ini, yang terpenting, kesiapan seperti apa yang dimiliki ‘mereka-mereka’ yang ingin segera berada di luar goa.”

“Pada masanya nanti, goa yang ‘nyaman’ tadi akan ditinggalkan. Penghuninya akan keluar untuk menghirup udara bebas. Bagi yang terbiasa di dalam goa, cahaya di luar akan terlalu menyilaukan, mungkin juga udaranya yang bebas dan segar akan membuat mereka terbatuk-batuk. Dimana posisi kawan-kawan nanti, saat dark cave itu ditinggalkan? Masuk kelompok yang ‘silau’ dan ‘batuk-batuk’ atau masuk kelompok yang benar-benar siap dengan ‘cahaya’ dan ‘udara bebas’?”

Dari depan rumah duka, diumumkan melalui megaphone bahwa jenazah akan dibawa ke masjid untuk disholatkan. Dan setelah itu akan langsung menuju pemakaman umum yang terletak tak jauh dari situ.

Tak lama. Terdengar lengking Laa ilaa ha illallah, Laa ilaa ha illallah, Laa ilaa ha illallah peti kayu dari dalam rumah yang di dalamnya terbujur jenazah Aditya Harsa diangkat beramai-ramai ke atas kereta jenazah. Beberapa orang menutupkan selembar kain hijau dan bendera merah putih di atas peti dan mendorongnya menuju masjid. Lafadz Laa ilaa ha illallah terus terdengar sepanjang perjalanan.

Saya percaya, tanpa kehadiran Didit ‘Dalbo’ secara fisik, spirit ‘goa yang gelap’ akan tetap berlaku. Minimal bagi kita-kita yang masih berada di dalamnya, spirit ini akan menenangkan, menenteramkan dan menyejukkan. Pada saat keluar, tentunya kita tidak masuk dalam kelompok yang ‘silau dan ‘batuk-batuk’ bukan? Amin.

PEMILU 2009

Lagi-lagi pemilu. Jika bukan singkatan pemilihan umum, kata ini berarti pembuat pilu (pe-milu/pilu). Aku golput saja ah.

Korban Orde Baru


Michel Camdesus (kiri) menyaksikan Presiden Suharto, pemimpin orde baru yang memimpin Indonesia dengan tangan besi selama 32 tahun, menandatangani perjanjian antara Indonesia dengan IMF di Jakarta, 15 Januari 1998.
REUTERS/Enny Nuraheni/Files (INDONESIA)

ओरंग Utan


Clinging to the hand of a human protector, six-year-old Mugi is one of some 500 orphans cared for at the Nyaru Menteng Orangutan Rescue Center in Indonesian Borneo. The island's orangutans are endangered: The population has fallen by more than 50 percent in the past 50 years.