in memoriam Aditya 'Didit' Harsa




Pemerintah Indonesia Harus paham bahwa kita semua telah kehilangan seorang pelopor pergerakan kaum muda. Dialah salah satu orang yang kemudian menjadikan demokrasi di republik ini kian subur dan menggiurkan. Semoga senantiasa ada damai di sisi Allah swt. Selamat jalan DIDIT... Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun. (brotoseno)

Demikianlah sms (sort message service) yang dibacakan oleh Gembos di hadapan ratusan orang yang hadir di rumah mendiang Aditya Harsa atau biasa dipanggil Didit ‘Dalbo’. Semua yang hadir menampilkan rasa kehilangan yang tak terucap. Gembos alias Bambang Yudho Pramono sendiri menyampaikan pidatonya dengan mata bersemu merah.

Beberapa waktu yang lalu, saya berada di rumah duka seorang kawan. Sinar matahari menyengat tanpa iba di atas kulit-kulit tangan dan wajah orang-orang yang berada di sana. Terlihat puluhan orang bergerombol di pintu gerbang yang telah dipadati mobil dan belasan sepeda motor. Beberapa meter dari pintu gerbang, berdiri sebuah rumah bercat putih dengan kusen kayu berwarna coklat dan kuning. Pagarnya telah dicopot. Di depan rumah ini terpasang terop yang menaungi puluhan orang, tua dan muda, laki-laki dan perempuan bahkan anak-anak. Agak ke timur, terlihat lagi puluhan pemuda dan banyak sepeda sepeda motor yang diparkir tidak teratur.

Seorang aktivis gerakan pro demokrasi berjalan pelan sambil menenteng sebuah megaphone ke hadapan orang-orang yang berada di bawah terop. Di lengan kirinya terlilit pita kain merah putih. Dia lalu mulai pidatonya dengan suara yang tidak keras namun mantap. “Kita semua telah ditinggal oleh seorang sahabat, saudara, sekaligus guru yang baik.” Suaranya menjadi serak, dan dia melanjutkan berbicara.

“Semasa hidup, Pak Didit, telah banyak memberikan teladannya. Beliau lebih memilih berkeliling naik vespa ke kampung-kampung dan ke dalam black community di Surabaya untuk membesarkan hati orang-orang, dan mengatakan kepada meraka, jangan menyerah, jangan pasrah. Itulah wasiat yang beliau tinggalkan bagi kita semua. Agar kita tidak berhenti bergerak dan memikirkan nasib orang-orang yang tidak beruntung, orang-orang yang tertindas tanpa sadar. Dan kepada semua orang yang berada di negeri yang masih kacau ini,” ujarnya menutup pidato.

Black community (masyarakat hitam/ gelap) biasanya berada di daerah kumuh yang banyak tersebar di penjuru Surabaya. Mereka yang tinggal di sana adalah penduduk Surabaya asli, meski ada beberapa yang datang dari luar kota. Kebanyakan dari mereka tidak kaya. Seringkali daerah-daerah ini menjadi TKP (tempat kejadian perkara) untuk kasus-kasus perjudian, penipuan, pencurian dan kekerasan dalam pemberitaan di media massa (Black in News). Bagi para black community, hal seperti itu adalah hal yang biasa. Kejadian-kejadian seperti itu adalah buah dari kesenjangan sosial yang terjadi di kota sebesar Surabaya. “Siapa yang paling nekat, dialah yang akan berjaya. Sura-wani, Boyo-nekat.” Bagi almarhum Didit, justru tempat-tempat seperti itulah yang suka dia datangi. Selalu, untuk beberapa lama, dia ‘menyelam’ dan akhirnya bersinergi dengan para black soldier dari black community.

Saya teringat kejadian bersama almarhum, 13 sampai 14 tahun yang lalu. Beberapa mahasiswa dari berbagai kampus termasuk saya sendiri mendatangi rumahnya dan mulai mengeluh. Salah seorang dari kami mengatakan, “Yang menginginkan perubahan keadaan hanya kita, kebanyakan orang di Surabaya tidak menginginkannya. Kita sudah berkeliling ke banyak kampung, ke kampus-kampus tetapi belum juga bertemu ‘kawan’ yang menerima ide perubahan. Jangan perubahan sosial, ekonomi, budaya, hukum atau politik, mendengarkan idenya saja meraka ingin cepat-cepat pergi melarikan diri.”

Mendengar keluhan kami, sambil tertawa, almarhum Didit mengatakan, “Kawan-kawan jangan sombong. Baru sosialisasi berkeliling kampung dan kampus saja sudah merasa paling menginginkan perubahan.”

Kami semua terdiam. Beliau melanjutkan.

“Bukan salah mereka karena tidak siap dengan ide perubahan. Mereka terlalu lama berada dalam goa yang gelap (dark cave). Tidak menyadari kalau sedang tertindas. Itu terjadi karena rejim membuat goa yang gelap tadi terasa nyaman. Saat ini, yang terpenting, kesiapan seperti apa yang dimiliki ‘mereka-mereka’ yang ingin segera berada di luar goa.”

“Pada masanya nanti, goa yang ‘nyaman’ tadi akan ditinggalkan. Penghuninya akan keluar untuk menghirup udara bebas. Bagi yang terbiasa di dalam goa, cahaya di luar akan terlalu menyilaukan, mungkin juga udaranya yang bebas dan segar akan membuat mereka terbatuk-batuk. Dimana posisi kawan-kawan nanti, saat dark cave itu ditinggalkan? Masuk kelompok yang ‘silau’ dan ‘batuk-batuk’ atau masuk kelompok yang benar-benar siap dengan ‘cahaya’ dan ‘udara bebas’?”

Dari depan rumah duka, diumumkan melalui megaphone bahwa jenazah akan dibawa ke masjid untuk disholatkan. Dan setelah itu akan langsung menuju pemakaman umum yang terletak tak jauh dari situ.

Tak lama. Terdengar lengking Laa ilaa ha illallah, Laa ilaa ha illallah, Laa ilaa ha illallah peti kayu dari dalam rumah yang di dalamnya terbujur jenazah Aditya Harsa diangkat beramai-ramai ke atas kereta jenazah. Beberapa orang menutupkan selembar kain hijau dan bendera merah putih di atas peti dan mendorongnya menuju masjid. Lafadz Laa ilaa ha illallah terus terdengar sepanjang perjalanan.

Saya percaya, tanpa kehadiran Didit ‘Dalbo’ secara fisik, spirit ‘goa yang gelap’ akan tetap berlaku. Minimal bagi kita-kita yang masih berada di dalamnya, spirit ini akan menenangkan, menenteramkan dan menyejukkan. Pada saat keluar, tentunya kita tidak masuk dalam kelompok yang ‘silau dan ‘batuk-batuk’ bukan? Amin.

PEMILU 2009

Lagi-lagi pemilu. Jika bukan singkatan pemilihan umum, kata ini berarti pembuat pilu (pe-milu/pilu). Aku golput saja ah.

Korban Orde Baru


Michel Camdesus (kiri) menyaksikan Presiden Suharto, pemimpin orde baru yang memimpin Indonesia dengan tangan besi selama 32 tahun, menandatangani perjanjian antara Indonesia dengan IMF di Jakarta, 15 Januari 1998.
REUTERS/Enny Nuraheni/Files (INDONESIA)

ओरंग Utan


Clinging to the hand of a human protector, six-year-old Mugi is one of some 500 orphans cared for at the Nyaru Menteng Orangutan Rescue Center in Indonesian Borneo. The island's orangutans are endangered: The population has fallen by more than 50 percent in the past 50 years.